Kerajaan Eropa Abad Pertengahan Disebut

Kerajaan Eropa Abad Pertengahan Disebut

Keadaan Eropa Pada Abad Pertengahan

Runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 menyebabkan perdagangan di sekitar Laut Tengah setelah hilangnya pasar di Roma menjadi sangat berkurang atau mengalami penurunan aktivitas. Penurunan aktivitas ini membuat kota-kota di Eropa Barat menjadi mati. Hubungan dagang yang tersisa adalah hubungan antara kota-kota pantai di cekungan sebelah timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya. Sisa-sisa perdagangan dan pelayaran di Laut Tengah bagi bangsa Eropa berakhir setelah Konstantinopel dikuasai oleh Kekaisaran Turki Utsmani pada tahun 1453.

Hilang dan runtuhnya kota-kota pelabuhan di Eropa mengubah daerah Eropa menjadi semakin agraris dengan rumah tangga desa tertutup. Hasil tanah yang dahulu dijual di kota-kota kini menjadi konsumsi desa. Di Eropa kemudian pun tidak adanya lalu lintas uang antara desa yang satu dengan desa yang lain. Hubungan perdagangan dengan daerah Asia yang telah terjadi selama berabad-abad hampir putus dan hilang sama sekali. Hal ini pun kemudian mengakibatkan kemunduran di bidang perekonomian.

Berubahnya Eropa menjadi masyarakat yang agraris menyebabkan timbulnya susunan sosial-politik baru di Eropa yang disebut dengan sistem feudal. Sistem feudal (feodalisme) adalah suatu sistem yang didasarkan pada penguasaan atas tanah (feodum) atau yang memiliki pengertian tanah yang dimiliki oleh para vassal. Sistem ini di Eropa ditandai dengan kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah. Sistem feudal juga diartikan sebagai sistem sosial yang mengagungkan jabatan atau pangkat seseorang dan menyingkirkan prestasi kerja.

Sistem politik yang dibangun pada masa ini adalah perpaduan antara militer dan bangsawan dengan menganut sistem yang sangat hierarki. Kekuasaan politik bersifat lokal dan personal. Hal ini mengakibatkan dunia kekuasaan menjadi tumpah tindih sehingga seringkali dipenuhi dengan ketegangan dan peperangan antar vassal.

Para raja yang dianggap menjadi pemilik tunggal tanah secara keseluruhan, meminjamkan bidang-bidang tanah yang luas kepada mereka yang dianggap berjasa terhadap raja. Pinjaman yang diberikan oleh raja ini bersifat turun-temurun dan peminjam pertama ini disebut sebagai raja daerah atau vassal, yang tergolong sebagai bangsawan kelas tinggi.

Para raja daerah (vassal) atau tuan-tuan tanah ini bertempat tinggal di sebuah bangunan yang disebut dengan kastil. Vassal atas namanya sendiri menguasai dan mengatur pemakaian tanah di wilayah kekuasaannya. Mereka meminjamkan bagian-bagian tanahnya kepada bawahannya langsung dan seterusnya.

Dengan demikian, terbentuklah golongan bangsawan atau kaum feudal yang dibagi atas tingkatan-tingkatan. Dalam hal ini peminjam yang tingkatannya paling bawah adalah para petani yang mengerjakan tanah. Dalam kehidupan yang feudal ini, seorang vassal mempunyai hak untuk memerintah daerah kekuasaannya menurut kehendak dan caranya sendiri. Seorang vassal memiliki kewajiban untuk memberi pajak dan upeti kepada raja.

Demikian juga, bawahan-bawahan langsung dari para vassal inilah yang lalu menjadikan petani-petani sebagai objek untuk mendukung kewajibannya, sehingga para petani terpaksa menanggung pajak yang sangat berat dalam susunan pemerintahan yang feudal. Sebagian besar pendapatan petani dipakai untuk membayar pajak.

Feodalisme telah menempatkan kaum feudal (raja, vassal, bangsawan, dan golongan ksatria dari kaum bangsawan (ridder-knight) sebagai penguasa, sedangkan rakyat lebih banyak kewajibannya dibandingkan dengan haknya. Keadaan-keadaan lain yang menjadi ciri-ciri lain dari kehidupan masyarakat feudal di Eropa adalah:

Di tengah-tengah situasi politik yang kacau-balau selama Abad Pertengahan, ketika semua organisasi kenegaraan lumpuh, suku bar-bar mulai menguasai daerah-daerah dan mulai mendominasi di dataran Eropa. Sedangkan di sisi lain orang-orang masih menggunakan tradisi Romawi dan diatur menurut model Romawi Kuno: Kota berada di bawah uskup, provinsi di bawah provicaris gereja dan juga sebagai pusat agama Kristen di Eropa.

Kedudukan Paus sebagai “pembuat raja” menempatkan pula kedudukan dan pengaruh kaum gereja ke dalam kehidupan secara menyeluruh. Biara-biara saat itu menjadi pusat pembinaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Uskup-uskup di samping memangku jabatan gereja juga menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Banyak diantara mereka yang menjadi penasihat raja. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa ini seluruh sendi-sendi kehidupan mengandung unsur kegerejaan yang sangat kuat.

Kekalahan Besarnya Diabadikan dalam Puisi

Dalam proses penaklukan Spanyol, Charlemagne mengalami kekalahan militer yang besar. Kala itu, pasukannya memasuki semenanjung Iberia pada tahun 778 M.

Ia dijanjikan oleh aliansinya yakni Sulaiman Ibn al-Arabi dari Barcelona. Disebutkan kala itu ia menyebarkan agama Kristen ke wilayah Muslim dan mengalami kemajuan pesat ke selatan menuju Zaragoza.

Namun sesampainya di sana, Gubernur Hussain Ibn al-Ansar melawan kaum Frank. Perlawanan itu selesai dengan negosiasi termasuk menawarkan emas sebagai imbalan.

Charlemagne menerima hal tersebut namun menghancurkan tembok pertahanan Pamplona agar tidak dapat digunakan sebagai markas untuk menyerang anak buahnya. Saat bergerak melalui Celah Roncevaux ia disergap oleh kaum Basque (etnik Spanyol).

Mereka dikatakan marah karena runtuhnya Pamplona dan perlakuan buruk tentara Charlemagne. Karena tak terbiasa berperang di hutan dengan pemandangan pegunungan, pasukan Charlemagne kewalahan dan kehilangan banyak orang termasuk prefek Breton bernama Roland.

Kehilangan Roland diabadikan dan dimitologikan dalam puisi epik di abad pertengahan berjudul The Song of Roland. Puisi ini dinilai sebagai contoh sastra Prancis tertua yang masih ada.

Peperangan terkenal Charlemagne lainnya terjadi pada tahun 782 M. Setelah tiga dekade melawan Saxon (suku Jermanik di dataran Jerman Utara) ia disebut memerintahkan untuk mengeksekusi sekitar 4.500 orang Saxon.

Selama pemerintahannya juga disebutkan bila setiap anggota suku Jermanik yang tidak memeluk agama Kristen akan dihukum mati. Pembantaian ini mendapat perhatian dalam sejarah pada abad ke-20.

Saat itu, Nazi membangun sebuah monumen batu pada tahun 1935 sebagai peringatan Sachsenheim. Pada waktu itu pula Charlemagne digambarkan sebagai musuh budaya tradisional Jerman dan contoh kejahatan Gereja Katolik.

Sekitar 4.500 monumen dibangun di lokasi yang diyakini tempat orang Saxon dibunuh. Tetapi hal ini berlangsung singkat lantaran pada tahun 1942, Nazi merayakan 1200 tahun kelahirannya sebagai simbol superioritas Jerman.

Satuan sukarelawan Perancis yang bertugas di Schutzstaffel (SS) Jerman selama Perang Dunia II juga diberi nama Resimen Charlemagne.

Kehancuran kerajaan Charlemagne

Charlemagne meninggal dunia pada tahun 814, sejak saat itu kerajaannya tidak bertahan lama. Seluruh kekuatan pemerintahannya mulai memudar.

Tradisi kaum Franka adalah membagi kekuasaan secara merata di antara ahli waris laki-laki. Namun, putra sah Charlemagne yang masih hidup kala itu adalah Louis the Pious.

Ketika ia meninggal pada tahun 840 M, kekaisaran dibagi kepada tiga putra Louis dan kerajaan terus terpecah hingga keturunannya yakni Charles III pada tahun 887 M. Pada saat itu, sebagian besar kekuasaan Charlemagne mulai hilang.

Hingga disebut setelah satu abad setelah kematian Charlemagne, kerajaannya sudah musnah dan tidak ada lagi.

Sejarah Abad Pertengahan dalam sejarah Eropa berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15 Masehi. Abad Pertengahan bermula sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan masih berlanjut ketika Eropa mulai memasuki Abad Pembaharuan dan Abad Penjelajahan. Sejarah Dunia Barat secara tradisional dibagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern. Dengan kata lain, Sejarah Abad Pertengahan adalah kurun waktu peralihan dari Abad Kuno ke Zaman Modern. Sejarah Abad Pertengahan masih terbagi lagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Awal Abad Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan.

Penurunan jumlah penduduk, kontraurbanisasi, invasi, dan perpindahan suku-suku bangsa, yang berlangsung sejak Akhir Abad Kuno, masih berlanjut pada Awal Abad Pertengahan. Perpindahan-perpindahan penduduk berskala besar pada Zaman Migrasi juga mencakup perpindahan suku-suku bangsa Jermanik yang mendirikan kerajaan-kerajaan baru di bekas wilayah Kekaisaran Romawi Barat.

Pada abad ke-7, Afrika Utara dan Timur Tengah—bekas wilayah Kekaisaran Bizantin—dikuasai oleh Khilafah Bani Umayyah, sebuah kekaisaran Islam, setelah ditaklukkan oleh para pengganti Muhammad. Meskipun pada Awal Abad Pertengahan telah terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kemasyarakatan dan politik, pengaruh Abad Kuno belum benar-benar hilang.

Kekaisaran Bizantin yang masih cukup besar tetap sintas di kawasan timur Eropa. Kitab undang-undang Kekaisaran Bizantin, Corpus Iuris Civilis atau “Kitab Undang-Undang Yustinianus”, ditemukan kembali di Italia Utara pada 1070, dan di kemudian hari mengundang decak kagum dari berbagai kalangan sepanjang Sejarah Abad Pertengahan.

Sebagian besar dari kerajaan-kerajaan yang berdiri di kawasan barat Eropa melembagakan segelintir pranata Romawi yang tersisa. Biara-biara didirikan seiring gencarnya usaha mengkristenkan kaum pagan (penganut kepercayaan leluhur di Eropa). Orang Franka di bawah pimpinan raja-raja wangsa Karoling, mendirikan Kekaisaran Karoling pada penghujung abad ke-8 dan permulaan abad ke-9. Meskipun berjaya menguasai sebagian besar daratan Eropa Barat, Kekaisaran Karoling pada akhirnya terpuruk akibat perang-perang saudara di dalam negeri dan invasi-invasi dari luar negeri, yakni serangan orang Viking dari arah utara, serangan orang Magyar dari arah timur, dan serangan orang Sarasen dari arah selatan.

Akhir Abad Pertengahan

Akhir Abad Pertengahan ditandai oleh berbagai musibah dan malapetaka yang meliputi bencana kelaparan, wabah penyakit, dan perang, yang secara signifikan menyusutkan jumlah penduduk Eropa; antara 1347 sampai 1350, wabah Maut Hitam menewaskan sekitar sepertiga dari penduduk Eropa.

Kontroversi, bidah, dan Skisma Barat yang menimpa Gereja Katolik, terjadi bersamaan dengan konflik antarnegara, pertikaian dalam masyarakat, dan pemberontakan-pemberontakan rakyat jelata yang melanda kerajaan-kerajaan di Eropa. Perkembangan budaya dan teknologi mentransformasi masyarakat Eropa, mengakhiri kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, dan mengawali kurun waktu Awal Zaman Modern.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai sejarah singkat Abad Pertengahan di Eropa. Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang bagian dari sejarah Eropa tersebut. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Abad Pertengahan agar dapat mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Sejarah Abad Pertengahan dalam sejarah Eropa berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15 Masehi. Abad Pertengahan bermula sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan masih berlanjut ketika Eropa mulai memasuki Abad Pembaharuan dan Abad Penjelajahan. Sejarah Dunia Barat secara tradisional dibagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern. Dengan kata lain, Sejarah Abad Pertengahan adalah kurun waktu peralihan dari Abad Kuno ke Zaman Modern. Sejarah Abad Pertengahan masih terbagi lagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Awal Abad Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan.

Penurunan jumlah penduduk, kontraurbanisasi, invasi, dan perpindahan suku-suku bangsa, yang berlangsung sejak Akhir Abad Kuno, masih berlanjut pada Awal Abad Pertengahan. Perpindahan-perpindahan penduduk berskala besar pada Zaman Migrasi juga mencakup perpindahan suku-suku bangsa Jermanik yang mendirikan kerajaan-kerajaan baru di bekas wilayah Kekaisaran Romawi Barat.

Pada abad ke-7, Afrika Utara dan Timur Tengah—bekas wilayah Kekaisaran Bizantin—dikuasai oleh Khilafah Bani Umayyah, sebuah kekaisaran Islam, setelah ditaklukkan oleh para pengganti Muhammad. Meskipun pada Awal Abad Pertengahan telah terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kemasyarakatan dan politik, pengaruh Abad Kuno belum benar-benar hilang.

Kekaisaran Bizantin yang masih cukup besar tetap sintas di kawasan timur Eropa. Kitab undang-undang Kekaisaran Bizantin, Corpus Iuris Civilis atau “Kitab Undang-Undang Yustinianus”, ditemukan kembali di Italia Utara pada 1070, dan di kemudian hari mengundang decak kagum dari berbagai kalangan sepanjang Sejarah Abad Pertengahan.

Sebagian besar dari kerajaan-kerajaan yang berdiri di kawasan barat Eropa melembagakan segelintir pranata Romawi yang tersisa. Biara-biara didirikan seiring gencarnya usaha mengkristenkan kaum pagan (penganut kepercayaan leluhur di Eropa). Orang Franka di bawah pimpinan raja-raja wangsa Karoling, mendirikan Kekaisaran Karoling pada penghujung abad ke-8 dan permulaan abad ke-9. Meskipun berjaya menguasai sebagian besar daratan Eropa Barat, Kekaisaran Karoling pada akhirnya terpuruk akibat perang-perang saudara di dalam negeri dan invasi-invasi dari luar negeri, yakni serangan orang Viking dari arah utara, serangan orang Magyar dari arah timur, dan serangan orang Sarasen dari arah selatan.

Abad Pertengahan – Istilah Abad Pertengahan digunakan untuk membantu di dalam menjelaskan dua zaman lain, yaitu zaman kuno dan zaman modern. Abad Pertengahan adalah suatu periodesasi dalam sejarah yang mendeskripsikan tentang Eropa dalam periode antara jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M hingga dimulainya era Renaissance (Abad Pembaharuan) pada abad ke-16. Tidak begitu jelas penarikan dimulainya Abad Pertengahan di Eropa ini. Beberapa sejarawan merujuk waktu terjadinya Abad Pertengahan ini dimulai pada kembali berkuasanya gereja dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini terjadi sejak pemahkotaan Karel Agung oleh Paus Leo III sebagai kaisar pada tahun 800 M.

Abad Pertengahan juga dianggap sebagai sebuah periode yang panjang dalam sejarah Eropa ketika nyaris tidak mengalami perkembangan apa-apa. Bahkan dalam periode ini Eropa justru dapat dikatakan mengalami kemunduran. Kemunduran ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) sehingga masa ini juga disebut dengan zaman kegelapan.

Perlu dipahami bahwa jika dibandingkan dengan zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno, manusia telah menghasilkan karya-karya besar dalam bidang kebudayaan, baik dalam bidang seni arsitektur, sastra, filsafat, politik dan kenegaraan. Sedangkan pada Abad Pertengahan, itu tidak terjadi lagi karena disebabkan oleh Odoacer yang barbar dan dominannya pengaruh gereja Katolik dalam kehidupan bangsa Eropa.

Jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M ditandai dengan menyerahnya Romulus Augustus ke tangan Odoacer dari bangsa Germanik, hal ini mengakibatkan kebudayaan Yunani Kuno dan Romawi Kuno tidak berkembang karena suku bangsa Germanik tidak begitu menaruh minat dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 800 M, kondisi politik Eropa mulai mengalami perubahan. Gereja Katolik mulai tampil sebagai penguasa yang dominan, baik dalam kehidupan politik maupun keagamaan. Pada tahun itu pula, Paus Leo III memahkotai Charlemagne (Karel Agung) sebagai kaisar. Di bawah Karel Agung pula, Eropa disatukan di bawah satu kekaisaran besar yang disebut dengan Kekaisaran Romawi Suci (The Holy Roman Empire).

Selain mengemban tugas politik, Kaisar Romawi Suci juga memiliki tugas misi keagamaan, yaitu melindungi agama Katolik dan menjamin penyebarannya ke seluruh Eropa. Di dalam konteks itu, setiap kaisar harus taat pada keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Paus. Setiap kaisar di dalam lingkup Kekaisaran Romawi Suci tidak sah menjadi kaisar jika tidak mendapatkan persetujuan dan pemahkotaan oleh Paus.

Potensi yang dimiliki oleh orang-orang pada zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno yang umumnya terekspresikan melalui karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan terhenti selama Abad Pertengahan. Pada masa ini, ketaatan kepada wahyu Tuhan melalui kitab suci jauh lebih penting daripada mengejar keinginan-keinginan dan ambisi yang bersifat duniawi.

Mengejar surga atau akhirat jauh lebih penting daripada mewujudkan secara maksimal potensi diri setiap individu lewat kebahagiaan dan kesejahteraannya di dunia. Manusia dianggap hanya sekedar peziarah dunia (viat mundi). Seluruh perhatian dan kegiatan gereja diarahkan hanya untuk kepentingan akhirat. Kekuasaan gereja Abad Pertengahan yang begitu kuat, sehingga sikap taat kepada gereja yang ditunjukkan masyarakat kepada para pejabat gereja lainnya, diidentikkan dengan ketaatan kepada Tuhan.

Dengan kekuasaan besar seperti itu, sangatlah mudah bagi para pemimpin gereja berkesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengatasnamakan firman Tuhan atau kehendak Tuhan. Paus dalam hal ini juga selain sebagai pemimpin agama, merangkap pula sebagai pemimpin politik serta penguasa atas raja-raja di Eropa.

Abad Pertengahan merupakan masa di mana kekuasaan gereja banyak diwarnai oleh tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran moral, terutama hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin gereja.

Masyarakat dan ekonomi

Masyarakat di seluruh Eropa terguncang oleh perubahan-perubahan besar yang diakibatkan oleh malapetaka Maut Hitam. Lahan-lahan yang kurang produktif ditelantarkan, karena orang-orang yang masih hidup kini mampu mendapatkan lahan-lahan lain yang lebih subur.[267] Meskipun kian berkurang di kawasan barat Eropa, praktik perhambaan kaum tani justru menjadi semakin lumrah di kawasan timur Eropa, karena tuan-tuan tanah memaksa para penyewa lahan yang sebelumnya merdeka untuk menjadi hamba sahaya mereka.[268] Sebagian besar kaum tani di kawasan barat Eropa berhasil mengganti kewajiban kerja bakti bagi majikan-majikan mereka menjadi pembayaran sewa lahan secara tunai.[269] Persentase kaum tani yang menghamba pada tuan tanah menyusut dari 90% sampai mendekati 50% pada akhir kurun waktu ini.[166] Tuan-tuan tanah pun menjadi semakin sadar akan kepentingan-kepentingan bersama dengan tuan-tuan tanah lainnya, dan akhirnya bersatu untuk menuntut anugerah hak-hak istimewa dari pemerintah. Tuntutan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah untuk berusaha mengundang-undangan aturan-aturan yang bertujuan memulihkan keadaan ekonomi seperti sediakala sebelum berjangkitnya Maut Hitam.[269] Orang-orang di luar kalangan rohaniwan semakin lama semakin terpelajar, dan masyarakat perkotaan mulai ikut-ikutan meminati kejatmikaan sebagaimana kaum bangsawan.[270]

Komunitas-komunitas umat Yahudi diusir dari Inggris pada 1290, dan dari Prancis pada 1306. Meskipun beberapa di antaranya diizinkan kembali ke Prancis, sebagian besar tidak diberi izin yang sama, dan banyak umat Yahudi yang beremigrasi ke sebelah timur, menetap di Polandia dan Hungaria.[271] Umat Yahudi diusir dari Spanyol pada 1492, dan menyebar ke Turki, Prancis, Italia, dan Belanda.[76] Bangkitnya lembaga perbankan di Italia, yang terjadi pada abad ke-13 bertahan sepanjang abad ke-14, antara lain disebabkan oleh kian maraknya peperangan kala itu, dan kebutuhan lembaga kepausan untuk memindahkan uang dari satu negara ke negara lain. Banyak perusahaan perbankan yang meminjamkan uang kepada para penguasa, dengan tingkat risiko yang tinggi, karena beberapa di antaranya terpaksa gulung tikar manakala raja-raja gagal melunasi pinjaman mereka.[272][AD]

Negara-negara bangsa yang kuat berlandaskan kekuasaan raja-raja mengalami kebangkitan di seluruh Eropa pada Akhir Abad Pertengahan, terutama di Inggris, Prancis, dan kerajaan-kerajaan Kristen di Jazirah Iberia, yakni Kerajaan Aragon, Kerajaan Kastila, dan Kerajaan Portugal. Sengketa-sengketa berkepanjangan yang terjadi kala itu memperkuat kendali raja-raja atas kerajaan-kerajaan mereka dan sangat menyulitkan kaum tani. Raja-raja diuntungkan dari perang yang memperbesar kewenangan hukum raja dan menambah luas tanah-tanah yang mereka kuasai secara langsung.[273] Kebutuhan pendanaan perang mendorong diciptakannya cara-cara memungut pajak yang lebih efektif dan efisien, dan tarif pajak sering kali dinaikkan.[274] Adanya persyaratan meminta persetujuan para wajib pajak memungkinkan badan-badan perwakilan rakyat seperti Parlemen Inggris dan États Généraux Prancis untuk mendapatkan kuasa dan kewenangan.[275]

Sepanjang abad ke-14, raja-raja Prancis berusaha meluaskan pengaruh mereka dengan cara merampas daerah-daerah kekuasaan kaum bangsawan.[276] Mereka menghadapi kesulitan ketika berusaha merampas daerah-daerah kekuasaan raja-raja Inggris di kawasan selatan Prancis. Usaha perampasan ini berbuntut pada Perang Seratus Tahun[277] yang berlangsung dari 1337 sampai 1453.[278] Dalam perang ini, pihak Inggris di bawah pimpinan Raja Edward III (memerintah 1327–1377) dan putranya, Edward Pangeran Hitam (wafat 1376),[AE] mula-mula tampil unggul dengan memenangkan Pertempuran Crécy dan Pertempuran Poitiers, merebut kota Calais, serta berhasil menguasai sebagaian besar wilayah Kerajaan Prancis.[AF] Sepak terjang Inggris mengakibatkan Kerajaan Prancis nyaris terpecah-belah pada tahun-tahun permulaan perang.[281] Pada permulaan abad ke-15, Kerajaan Prancis sekali lagi nyaris tercerai-berai, tetapi pada penghujung dasawarsa 1420-an, keberhasilan aksi-aksi militer yang dilakukan oleh Jeanne d'Arc (wafat 1431) menghasilkan kemenangan bagi pihak Prancis dan perampasan daerah-daerah kekuasaan Inggris yang terakhir di kawasan selatan Prancis pada 1453.[282] Harga yang harus dibayar sangatlah tinggi, karena populasi Prancis pada akhir perang agaknya tersisa setengah dari jumlahnya pada awal perang. Sebaliknya, perang ini berdampak positif terhadap jati diri bangsa Inggris, karena mampu melebur berbagai identitas kedaerahan menjadi satu jati diri tunggal sebagai bangsa Inggris. Sengketa dengan Prancis ini juga membantu menciptakan suatu budaya bangsa Inggris yang terpisah dari budaya Prancis, yakni budaya yang sebelumnya sangat mempengaruhi peri kehidupan masyarakat Inggris.[283] Busur panjang mulai menjadi senjata andalan Inggris pada tahap-tahap permulaan Perang Seratus Tahun,[284] dan meriam muncul di medan tempur di Crécy pada 1346.[238]

Di Jerman, Kekaisaran Romawi Suci terus bertahan hingga ke Zaman Modern, tetapi sifat elektif dari jabatan kaisar memuskilkan suatu wangsa untuk kekal berkuasa, yang sekiranya mungkin, dapat menjadi landasan bagi terbentuknya sebuah negara yang kuat.[285] Lebih jauh lagi ke sebelah timur, Kerajaan Polandia, Kerajaan Hungaria, dan Kerajaan Bohemia tumbuh menjadi negara-negara yang kuat.[286] Di Jazirah Iberia, kerajaan-kerajaan Kristen terus-menerus berhasil merebut daerah-daerah yang dikuasai kerajaan-kerajaan Muslim di jazirah itu;[287] Kerajaan Portugal memusatkan perhatiannya pada usaha perluasan wilayah di seberang laut pada abad ke-15, sementara kerajaan-kerajaan lainnya mengalami perpecahan akibat permasalahan suksesi penguasa dan berbagai permasalahan lain.[288][289] Setelah dikalahkan dalam Perang Seratus Tahun, Inggris mengalami perang saudara berkepanjangan yang dikenal dengan sebutan Perang Mawar. Perang ini berlangsung sampai memasuki dasawarsa 1490-an,[289] dan baru berakhir ketika Henry Tudor (memerintah 1485–1509 sebagai Raja Henry VII) menjadi Raja Inggris, dan memperkukuh kekuasaan dengan kemenangannya atas Richard III (memerintah 1483–1485) dalam Pertempuran Bosworth pada 1485.[290] Di kawasan Skandinavia, Ratu Denmark, Margrete I (memerintah 1387–1412), mempersatukan kekuatan Norwegia, Denmark, dan Swedia dalam Uni Kalmar, yang bertahan sampai dengan 1523. Kekuatan utama di kawasan sekitar Laut Baltik adalah Liga Hansa, konfederasi perniagaan negara-negara kota yang menjalankan usahanya mulai dari kawasan barat Eropa sampai ke Rusia.[291] Skotlandia bangkit dari dominasi Inggris pada masa pemerintahan Robert the Bruce (memerintah 1306–1329), yang berhasil mendapatkan pengakuan dari lembaga kepausan atas jabatannya sebagai raja pada 1328.[292]

Puncak Abad Pertengahan

Masyarakat-masyarakat baru

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai "invasi", pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran. Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi.[41] Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau orang-orang yang sama sekali tidak berdarah Romawi. Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Kawin campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dengan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi.[42] Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.[43] Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi.[44] Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan pada tradisi-tradisi intelektual Romawi.[45] Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan.[46] Perang menjadi hal yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.[47][F]

Antara abad ke-5 dan abad ke-8, suku-suku bangsa dan tokoh-tokoh baru mengisi kekosongan politik selepas tumbangnya pemerintahan terpusat bangsa Romawi.[45] Orang Ostrogoth, salah satu suku Goth, menetap di Italia Romawi pada penghujung abad ke-5, di bawah pimpinan Teodorik Agung (wafat 526). Orang Ostrogoth mendirikan sebuah kerajaan di daerah itu dan hidup rukun bersama orang-orang Italia, setidaknya sampai masa pemerintahan Teodorik berakhir.[49] Orang-orang Burgundi menetap di Galia, dan setelah kerajaannya dibinasakan oleh orang Hun pada 436, mereka mendirikan sebuah kerajaan baru pada dasawarsa 440-an. Kerajaan di daerah yang kini berada di antara kota Jenewa dan kota Lyon ini berkembang menjadi Kerajaan Burgundia pada penghujung abad ke-5 dan permulaan abad ke-6.[50] Daerah-daerah lain di Galia diduduki oleh orang Franka dan orang Briton Kelt yang mendirikan kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Franka berpusat di kawasan utara Galia, dan raja pertamanya diketahui bernama Kilderik (wafat 481). Di makam Kilderik yang ditemukan kembali pada 1653, didapati barang-barang bekal kubur yang menakjubkan, yakni senjata-senjata dan sejumlah besar emas.[51]

Pada masa pemerintahan putra Kilderik, Klovis I (memerintah 509–511), pendiri wangsa Meroving, Kerajaan Franka meluaskan wilayahnya dan menerima agama Kristen. Orang Briton, yang masih berkerabat dengan pribumi Pulau Pretanī (bahasa Latin: Britannia) – Pulau Britania Raya sekarang ini – menetap di daerah yang sekarang disebut Bretagne.[52][G] Orang Visigoth mendirikan kerajaan di Jazirah Iberia, orang Suevi mendirikan kerajaan di kawasan barat laut Iberia, dan orang Vandal mendirikan kerajaan di Afrika Utara.[50] Pada abad ke-6, orang Lombardi menetap di Italia Utara, menggantikan Kerajaan Ostrogoth dengan sekelompok kadipaten yang sesekali memilih seorang raja untuk memerintah semuanya. Pada akhir abad ke-6, tatanan pemerintahan ini tergantikan oleh sebuah monarki yang bersifat tetap, yakni Kerajaan Orang Lombardi.[53]

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan. Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad. Bahasa Yunani masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Romawi Timur, akan tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.[54]

Munculnya Kasta Prajurit (Knight/Ridder)

Disebabkan oleh sering munculnya peperangan yang terjadi di antara para vassal, maka sifat-sifat kepahlawanan dan keprajuritan menjadi sangat terpandang. Pengangkatan seseorang menjadi knight dilakukan oleh raja pada suatu ibadat yang khidmat. Seorang knight harus setia kepada sumpah setianya kepada raja dan agama serta membela dan melindungi yang lemah.

Kota-kota di masa feudal biasanya berdinding tebal yang dapat melindungi kota dari serangan musuh, atau yang biasa disebut dengan benteng. Oleh karena itu, terkadang Abad Pertengahan disebut pula sebagai ‘zaman benteng’. Sebab pada masa ini banyak dibangun benteng-benteng untuk melindungi kota. Kebutuhan akan berbagai macam barang dicukupi oleh organisasi yang disebut dengan gilda.

Gilda adalah serikat pengrajin yang dibentuk untuk memantau kegiatan usaha atau perniagaan mereka di daerah tertentu. Di dalam gilda terdapat usaha melakukan pekerjaan tangan untuk melayani pesanan. Setiap jenis gilda menjalankan jenis kegiatan produksi tertentu. Gilda sendiri pertama kali berkembang pada masa Kekaisaran Romawi. Serikat ini adalah sebuah perhimpunan yang bersifat sukarela dan beranggotakan penguasaha-pengusaha yang bergelut di bidang yang sama. Serikat ini bergerak di bidang angkutan laut jarak jauh yang berpusat di Ostia, Roma.

Gilda-gilda Romawi itu mengalami keruntuhan dan bubar setelah Kekaisaran Romawi mengalami keruntuhan pada tahun 476. Pada Abad Pertengahan, gilda merupakan serikat pengrajin yang menggeluti bidan yang sama. Pada prinsipnya gilda Abad Pertengahan terbagi menjadi dua jenis; (1) gilda saudagar, (2) gilda pengrajin. Di mana kedua jenis gilda ini dibentuk demi kepentingan bersama. Gilda kemudian dijadikan sebagai suatu perkumpulan persaudaraan yang saling membantu.

Kehadiran gilda dimanfaatkan oleh kalangan bangsawan untuk memonopoli perdagangan yang menjadi cikal-bakal dari lahirnya semangat merkantilisme. Sistem gilda seperti ini bertahan hingga abad ke-14 dengan munculnya perpecahan diantara gilda itu sendiri yang terbagi menjadi dua kelompok; gilda berpunya (besar) dan gilda tak berpunya (kecil).

Perseteruan antar gilda yang paling sengit terjadi adalah perseteruan antara gilda-gilda yang bersifat konservatif dengan golongan saudagar yang melalui penguasaan alat-alat produksi. Gilda sendiri bekerjasama dengan pemerintah kota untuk mendapatkan keuntungan. Gilda mulai hancur setelah terjadinya revolusi industri pada abad ke-17.

Organisasi gilda diatur rapi dan diawasi oleh pemerintah kota untuk menjamin kualitas barang buatannya. Jika ada serangan, setiap jenis gilda harus mempertahankan bagian dinding kota tertentu. Dengan demikian organisasi gilda juga diikutsertakan dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Halaman ini berisi artikel tentang Abad Pertengahan di Eropa. Untuk sejarah dunia antara abad ke-5 sampai abad ke-15, lihat

Di dalam sejarah Eropa, Abad Pertengahan adalah kurun waktu yang bermula sekitar tahun 500 dan berakhir pada tahun 1500 tarikh Masehi. Kurun waktu tersebut merupakan penggal kedua dari pembagian tradisional sejarah Eropa menjadi Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern. Perkembangan-perkembangan utama pada kurun waktu ini adalah predominansi sektor pertanian di bidang ekonomi, eksploitasi rakyat tani, komunikasi interregional yang lamban, pentingnya hubungan pribadi dalam struktur kekuasaan, dan tata negara yang lemah. Kurun waktu ini adakalanya dibagi lagi menjadi Awal Abad Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan. Sebutan alternatif untuk Awal Abad Pertengahan adalah Abad Kegelapan.

Penurunan populasi, kontraurbanisasi, tumbangnya kekuasaan terpusat, perpindahan suku-suku (terutama suku-suku bangsa Jermani), dan Kristenisasi, yang dimulai pada Akhir Abad Kuno, terus berlanjut sampai ke Awal Abad Pertengahan. Perpindahan suku-suku tersebut bermuara pada disintegrasi Kekaisaran Romawi Barat dan kemunculan kerajaan-kerajaan baru. Di Eropa pasca-Romawi, penurunan pajak, pembiayaan angkatan bersenjata melalui anugerah tanah lungguh, dan pembauran peradaban Romawi Akhir dengan tradisi-tradisi para penginvasi terdokumentasi dengan baik. Kekaisaran Romawi Timur masih berdiri kukuh, tetapi kedaulatannya atas Timur Tengah dan Afrika Utara hilang direnggut bala tentara Muslim pada abad ke-7. Sekalipun wangsa Karoling yang berasal dari suku Franka berhasil mempersatukan kembali banyak daerah peninggalan Kekaisaran Romawi Barat pada awal abad ke-9, negara Kekaisaran Karoling dengan cepat pecah menjadi kerajaan-kerajaan yang saling bersaing, yang kemudian hari tercerai-berai menjadi kadipaten-kadipaten dan daerah-daerah ketuanan swatantra.

Pada Puncak Abad Pertengahan, yang bermula selepas tahun 1000, populasi Eropa melonjak pesat ketika periode Suhu Hangat Abad Pertengahan membuka peluang untuk meningkatkan hasil panen, dan inovasi-inovasi di bidang teknologi maupun pertanian menghadirkan suatu "revolusi niaga". Perbudakan nyaris hilang, dan rakyat tani dapat mengangkat derajatnya dengan cara mendaulat daerah-daerah yang jauh demi mendapatkan konsesi ekonomi dan hukum. Pusat-pusat niaga lokal tumbuh menjadi kota-kota baru, dan para pengrajin perkotaan bergabung membentuk serikat-serikat usaha lokal demi melindungi kepentingan bersama. Para petinggi Gereja Barat menerima supremasi paus demi menangkis campur tangan awam dalam urusan gerejawi, yang justru mengakselerasi keterpisahan Gereja Katolik di barat dari Gereja Ortodoks di timur, serta memicu sengketa Investitur antara lembaga kepausan dan kuasa-kuasa sekuler. Dengan menyebarnya aswasada berat, muncul golongan ningrat baru yang mengukuhkan kedudukannya melalui adat pewarisan yang ketat. Di dalam sistem feodalisme para kesatria berkuda ningrat berutang bakti kepada tuan-tuan mereka sebagai ganti anugerah tanah lungguh yang mereka terima. Puri-puri batu dibangun di daerah-daerah tempat kekuasaan terpusat tidak begitu kuat, tetapi kekuasaan negara meningkat menjelang akhir kurun waktu ini. Pemukiman rakyat tani dan kaum ningrat Eropa Barat ke kawasan timur dan selatan Eropa, yang kerap dipicu oleh perang-perang Salib, bermuara kepada ekspansi Dunia Kristen Latin. Penyebaran sekolah-sekolah katedral dan universitas-universitas mendorong munculnya metode diskusi ilmiah baru dengan penekanan pada argumentasi rasional yang dikenal dengan sebutan skolatisisme. Ziarah-ziarah yang dilakukan secara besar-besaran mendorong dibangunnya gereja-gereja raksasa berarsitektur Romanik yang kukuh, sementara inovasi-inovasi di bidang pengerjaan bangunan mendorong dikembangkannya arsitektur Gothik yang lebih anggun.

Berbagai musibah, antara lain bencana Kelaparan Besar dan wabah Maut Hitam yang menyusutkan populasi sampai 50 persen pada abad ke-14, menjadi pembuka kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Konflik-konflik antaretnis dan antar golongan masyarakat kian memanas, dan konflik-konflik lokal kerap meningkat menjadi perang besar, misalnya Perang Seratus Tahun. Menjelang akhir kurun waktu ini, Kekaisaran Romawi Timur dan negara-negara Balkan ditaklukkan kekuatan Muslim yang baru, yakni Kemaharajaan Usmani; sementara di Jazirah Iberia, kerajaan-kerajaan Kristen memenangkan perang berabad-abad melawan tetangga-tetangga Muslim mereka. Pementingan keimanan pribadi terdokumentasi dengan baik, tetapi Skisma Barat dan gerakan-gerakan pembangkangan yang dibidatkan memunculkan penting terhadap struktur kekuasaan tradisional di dalam Gereja Barat. Para sarjana humanis mulai menitikberatkan keluhuran martabat manusia, dan para arsitek dan seniman Renaisans Awal menghidupkan kembali beberapa unsur budaya klasik di Italia. Dalam seratus tahun terakhir Abad Pertengahan, usaha-usaha meneroka samudra dalam rangka mencari jalur-jalur dagang baru melahirkan Abad Penjelajahan Samudra.

Militer dan perkembangan teknologi

Perkembangan-perkembangan utama di bidang militer pada kurun waktu akhir Kekaisaran Romawi meliputi usaha untuk membentuk pasukan-pasukan aswasada yang tangguh, dan usaha berkelanjutan untuk membentuk berbagai macam pasukan khusus. Pembentukan satuan-satuan prajurit bersenjata berat jenis katafrak (berbaju zirah lengkap) menjadi pasukan-pasukan aswasada adalah salah satu hasil reka cipta militer Romawi yang penting pada abad ke-5. Bermacam-macam suku yang menginvasi wilayah Kekaisaran Romawi menonjolkan jenis prajurit andalan yang berbeda-beda, mulai dari pasukan pejalan kaki andalan orang Saksen-Inggris yang menginvasi Britania sampai dengan pasukan-pasukan aswasada yang merupakan bagian terbesar dari bala tentara orang Vandal dan orang Visigoth.[144] Pada permulaan kurun waktu invasi, sanggurdi belum dikenal dan digunakan untuk berperang, sehingga membatasi pendayagunaan pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas, karena penunggang tidak mungkin dapat mengayunkan senjata dengan kekuatan penuh sambil berkuda tanpa sanggurdi.[145] Perkembangan terbesar di bidang militer pada kurun waktu invasi adalah peralihan ke pemakaian busur rakitan khas Hun sebagai pengganti busur rakitan khas Skitia yang lebih lemah dan sebelumnya lazim digunakan.[146] Perkembangan lainnya adalah peningkatan pemakaian pedang panjang,[147] dan peralihan bertahap dari pemakaian zirah sisik ke pemakaian zirah rantai dan zirah keping.[148]

Pasukan pejalan kaki dan aswasada semakin kurang diandalkan pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling, seiring dengan kian diandalkannya pasukan aswasada khusus berperlengkapan berat. Pengerahan satuan-satuan wajib militer jenis milisi yang berasal dari warga berstatus merdeka (bukan budak belian) kian berkurang pada zaman Kekaisaran Karoling.[149] Meskipun terdiri atas sejumlah besar penunggang kuda, sebagian besar prajurit pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling adalah prajurit pejalan kaki yang menunggang kuda, bukan aswasada yang sesungguhnya.[150] Berbeda dari bala tentara Saksen-Inggris yang masih terdiri atas pasukan-pasukan wajib militer daerah yang disebut fyrd, di bawah pimpinan pembesar daerah masing-masing.[151] Salah satu perubahan utama di bidang teknologi militer adalah kemunculan kembali busur silang, yang sudah dikenal pada zaman Kekaisaran Romawi dan digunakan kembali sebagai senjata militer pada penghujung kurun waktu Awal Abad Pertengahan.[152] Perubahan lainnya adalah pengenalan sanggurdi, yang meningkatkan daya guna pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas. Salah satu kemajuan teknologi yang juga dirasakan manfaatnya di luar lingkungan militer adalah ladam, yang memungkinkan orang memacu kuda di medan berbatu.[153]